Selasa, 22 Januari 2013

Mudahnya mendirikan Penerbitan Indie Oleh CV Penerbit Harfeey 28 Mei 2012, tengah malam yang belum bisa dikatakan larut, tiba-tiba suatu ide yang kupikir cukup cemerlang, melintas di otakku. Bukan hanya sekedar permisi numpang lewat, ide itu akhirnya aku cetuskan dan realisasikan langsung pada keesokan harinya. Membuka jasa penerbitan buku indie. Yah, usaha itulah yang berhasil menggagahi alam pikiranku semalaman suntuk. Aku mulai memperhitungkan untuk “berjudi” dengan membuka usaha tersebut, setelah aku mulai merasakan jenuh dan lelah pada bisnis penjualan baju online yang 2 bulan terakhir kugeluti. Aku mulai menggali potensiku, untuk menjadikan hobi sebagai lahan bisnis. Banyak orang yang heran dan merasa “wah” (baca: kagum) waktu tau kalo mahasiswi rantau yang baru menjejak angka kepala dua ini bisa menekuni side job di luar jalurside job normal yang biasa digeluti pelajar rantau lainnya. Tapi, kalo kamu tau cara-caranya, aku yakin, kamu sendiri juga bisa seperti aku (bahkan lebih). Satu hal yang pasti, membuka penerbitan buku indie TIDAK HARUS PUNYA KANTOR. Yaph, betul. Karena aku sendiri sudah membuktikan, ruang kamar kost-ku yang cuma berlahan 3×3 meter ini, ternyata mampu menyangga tubuhku selama hampir 24 jam guna melakoni usaha penerbitan buku indie. Dari mulai penggarapan naskah, hingga pengiriman paket buku yang sudah dipesan. Oke, langsung aja… Memahami maknanya terlebih dahulu, penerbit indie (mandiri) adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan buku, yang keseluruhan modalnya berasal dari kantong sendiri. Mulai dari kerangka, hingga sebuah naskah dapat berubah wujud menjadi sebuah buku yang manis dan bisa dinikmati oleh pembaca. Apa aja, sih, yang diperlukan untuk bisa membuat sebuah usaha penerbitan buku indie? 1. Membuat Nama dan Logo Penerbit Jangan asal dalam membuat nama untuk penerbitan indie, karena nama dan logo juga bisa menjadi brand yang cukup berpengaruh dalam nilai jual penerbitan tersebut. Buat nama yang unik, yang sekiranya bisa menimbulkan penasaran di benak pemirsa, tapi juga mudah melekat di ingatan. Begitu juga dengan logo. Buat yang sekiranya nggak biasa dan bernilai historis. Coba bayangkan, bagaimana penilaian konsumen, saat melihat logo sebuah penerbitan yang terkesan biasa saja dan pasaran? Bisa dipastikan, jika mereka konsumen yang cerdas, akan cukup meragukan kemampuan si penerbit tersebut. Lha, buat design logo-nya sendiri aja nggak memikat, gimana bisa men-design cover buku dan menarik minat banyak pembeli? Aku pribadi, memakai nama PENERBIT HARFEEY untuk nama penerbitan buku indie yang kutekuni. Harfeey sendiri berasal dari singkatan nama kedua orangtuaku, Harjadan Shofeeyah. Dengan harapan, agar usaha yang tengah kurintis ini bisa mendulang sukses berkat barokah dari beliau berdua. Tentang logo, yang bisa dilihat pada foto di atas, kebetulan yang membuat design-nya adalah adikku sendiri. Makna dari logo tersebut ialah, gambar buku sebagai simbol bahwa kami bergerak dalam bidang penerbitan buku, tulisan huruf “H” dan “F” di dalam kertas buku yang terbuka melambangkan ayah dan ibu sebagai dua orang berkedudukan tertinggi dalam keluarga, dan 7 bulatan yang merangkai nama HARFEEY dari warna biru paling tua hingga paling muda menggambarkan 7 bersaudara yang dimulai dari anak tertua hingga yang paling muda, dan makna 7 bulatan itu yang melingkar keluar, lalu menyatu lagi ke dalam buku yang juga kami ibaratkan sebagai rumah yang di dalamnya terdapat orangtua, adalah bahwa kami, ketujuh bersaudara ini, gemar merantau ke luar daerah, namun pada akhirnya akan tetap bersatu juga di dalam rumah tercinta. Cukup memiliki nilai sejarah, kan? :) 2. Modal dana UTAMA just Rp500.000,- Nggak besar juga, kan, ternyata modal utamanya? Tapi hati-hati, modal utama yang dijadikan sebagai biaya untuk pembuatan akta notaris (badan hukum) ini tidak seragam tarifnya. Pernah sharing sama beberapa teman yang juga duluan bikin penerbitan buku indie, ternyata mereka harus merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk membuat perusahaannya tersebut sah dan legal di mata hukum. Nggak tanggung-tanggung, tarifnya dari Rp1.500.000,- s/d Rp6.000.000,-. Wow! Memang yang mereka dapatkan itu bukan sekedar akta notarisnya aja, tapi, katanya, juga ada NPWP perusahaan, dll-nya juga. Padahal, sih, paling itu cuma akal-akalan oknum atau petugasnya aja, deh! :) Selain karena sebenarnya pengurusan surat NPWP (surat wajib pajak) itu gratis alias nggak berbayar, juga untuk jenis usaha penerbitan indie yang statusnya masih berupa perusahaan skala kecil berbentuk CV, pajak itu tidak menjadi suatu kewajiban, kecuali zakat penghasilan, tentunya bagi yang beragama muslim. Kegunaan dari membuat akta notaris untuk penerbitan indie selain agar terlepas dari jerat penerbit abal-abal alias illegal, adalah dalam memudahkan proses penerbitan buku. Sebuah buku, walaupun juga nggak wajib, tapi umumnya harus memiliki ISBN (International Standard Book Number), semacam sidik jari khusus pada setiap buku. Guna dari ISBN tersebut adalah di antaranya agar bukumu diakui secara internasional dan tersimpan dalam arsip perpustakaan nasional hingga limapuluh tahun ke depan. Dan hanya perusahaan yang sudah berbadan hukumlah yang permintaan pengajuan ISBN-nya akan dilayani oleh pihak pembuat jasa ISBN, yakni Perpustakaan Nasional. Sementara untuk kelengkapan dokument-nya sendiri nggak cukup rumit. selain uang pembayaran, juga diperlukan foto copy KTP 2 orang, yang nantinya akan bertindak sebagai Direktur Utama dan Vision Comanditer perusahaan. Proses selengkapnya bisa langsung ditanyakan pada pihak kantor notarisnya sendiri 3. Menguasai Tekhnik-tekhnik Dasar Penerbitan Buku Tekhnik-tekhnik dasar tersebut bisa mencakup editing, layout isi, dan design cover. Kebetulan, sebagai penulis aku cukup paham dalam tekhnik editing dan layoutnaskah, jadi nggak perlu dana buat bayar orang untuk menggarap bagian itu. Sedangkan design cover, Alhamdulillah-nya, ternyata adikku juga bisa membuatdesign yang sangat bagus. Alhasil, aku bisa meminimalisir dana untuk design cover, karena bisa membelinya dengan harga “sodara” :D. Buat teman-teman yang mungkin nggak punya sodara atau kenalan dekat yang bisadesign cover, bisa juga meminta jasa para pen-design pemula yang umumnya juga mematok harga sekitar Rp120.000,- s/d Rp150.000,-. Sedangkan untuk layout-nya sendiri, paling murah Rp200.000,-, dan editing naskah sekitar Rp3.000,- s/d Rp6.000,- perhalaman A4, spasi 1,5. Itu semua tarif untuk pemula, loh. Kalo profesional, jelas beda lagi kastanya. :) Cukup mahal, ya? Makanya, mendingan belajar sendiri sedikit demi sedikit, bisa juga secara otodidak, agar bisa meminimalisir ongkos produksi. 4. Mengurus ISBN Setelah buku siap dicetak, seperti yang sudah dijelaskan di nomor 2, kita perlu untuk mengurus nomor ISBN, yang umumnya nanti akan dicantumkan di cover bagian belakang, lengkap dengan design barcode-nya yang bisa kita buat sendiri menggunakan aplikasi corel draw, atau secara online di http://www.terryburton.co.uk/barcodewriter/generator/. Nah, untuk mengajukan permintaan nomor ISBN-nya itu sendiri, kita bisa mulai dengan menyiapkan berbagai kelengkapannya, dan mengirimkan lewat faks ke kantor Perpustakaan Nasional bagian pelayanan ISBN. Biasanya proses pelayanan cukup cepat, nggak sampe memakan waktu sehari. Cuma sekitar 1-2 jam setelah pengirimanfaks, balasan tentang nomor ISBN bisa langsung diterima. Info selengkapnya bisa dilihat dengan membuka link ini http://www.pnri.go.id/LayananISBN.aspx. 5. Memilih Percetakan Setelah semua tahap pra terbit selesai (editing, layout, design cover, ISBN), sekarang waktunya buat mencari percetakan yang cocok untuk mencetak buku tersebut. Huntingpercetakan tentu bukan perkara yang sepele juga, karena bisa berimbas ke harga jual buku nantinya. Tapi jangan asal comot percetakan yang banting harga juga, sih. Yang penting kita lihat dulu kualitas cetakannya seperti apa. Untuk meminimalisir pembayaran dari kantong pribadi dalam membayar biaya cetak yang juga nggak murah, caranya, waktu buku sudah siap dilempar ke percetakan (dan tentunya di sini kamu sudah bisa memperhitungkan harga jual buku), bikin woro-woro tentang pre order, alias pembelian buku pra terbit. Tentunya dengan diskon beberapa persen (umumnya 15-20%), biar orang-orang tertarik untuk melakukan pre order. Nah, dari uang hasil pre order itu bisa kamu gunakan untuk menambah kekurangan ongkos cetak bukunya. :) Hal yang jangan sampe dilupakan, cari percetakan yang menerima cetak buku dengan sistem POD (Print on Demand), alias cetak berkala. Jangan berani-berani untuk langsung cetak masal ratusan bahkan sampe ribuan eksemplar, karena seperti yang sudah dibahas sebelumnya, penjualan by online itu nggak tentu. Jadi lebih aman melakukan cetak sesuai pesanan saja. Misal, cuma antara 10-50 eksemplar dulu untuk cetakan pertama, dan bisa dicetak ulang kalo ada lagi yang membeli, begitu seterusnya. 6. Menentukan Harga Buku Ini tahapan yang lumayan bikin dilema, terutama bagi penerbit indie yang sering terbentur sama masalah harga ongkos kirim juga. Kalo mau merujuk sama hitungan rumus normal untuk penentuan nilai harga jual adalah Biaya cetak : jumlah eksemplar cetak x 5 = Harga buku. Tapi, justru jatuhnya sering terlalu mahal, apalagi kalo dijual cuma by online. Bisa-bisa orang sudah lari terbirit-birit waktu baru baca kolom harganya aja. Terserah kitalah intinya, sih, mau pasang tarif jual berapa, tapi yang sekiranya realistis dan sesuai dengan kantong para target pasar. Prinsipku, ambil untung secukupnya aja (baca: nggak banyak), asal laris. Daripada ambil untung banyak, tapi yang beli cuma 1-2. 7. Strategi Pemasaran Ini yang menurtku menjadi yang terpenting. Kamu harus pandai membuka peluang pasar, bukan sekedar mencari. Terlebih jika basic-nya sudah penulis (seperti aku :P) akan jauh lebih memudahkan lagi, karena sedikit banyak sudah paham tentang apa yang terjadi di dunia kepenulisan. Kebetulan, aku lebih fokus pada dunia penulisan di situs jejaring sosial facebook, yang mana sudah sangat mewabah. Banyak grup-grup kepenulisan yang juga mengadakan event-event lomba menulis yang nantinya naskah tersebut diterbitkan secara indie (mandiri). Dari situ, aku pribadi mulai memanfaatkan maraknya event kepenulisan online untuk melebarkan sayap perusahaan baruku ini. Sekedar untuk memperkenalkan pada teman-teman lain. Aku mulai mengadakan berbagai macam event kepenulisan yang mengangkat tema yang sekiranya dapat diminati bukan hanya ketika berwujud eventlombanya saja, tetapi saat telah menjadi buku cantik yang siap dipasarkan. Jujur, keuntungan untuk sekedar balik modal jauh lebih cepat diraih dari penerbitan buku antologi (keroyokan dari banyak penulis) yang diadakan lewat event lomba tersebut, ketimbang dari menerbitkan buku karya perorangan. Karena yang berminat membeli dan mempromosikannya juga jauh lebih banyak. Nggak sampe di situ, masih ada perjuangan lainnya, yakni memasarkan buku. Karena nggak mungkin, kan, kita sudah merasa puas hanya dengan sekedar bisa melihat wujud nyata dari lembaran naskah yang selama ini kita tulis, dalam bentuk buku. Tentunya setiap penulis menginginkan agar bukunya tersebut bisa dinikmati oleh khalayak, dan laku dipasaran. Sebagai penerbit indie yang hanya memasarkan buku-buku terbitan lewat mediaonline, aku paham betul kendala memasarkannya. Mulai dari kurang menjamah banyak kalangan, hingga masalah ongkos kirim barang yang tidak jarang menjadi perhitungan kebanyakan pembeli untuk memilih berbelanja online. Maka dari itu, aku memutar otak agar buku-buku hasil terbitanku tidak hanya mengeram menjadi penghuni tumpukkan kardus di pojok kamar kost-ku, dengan cara (lagi-lagi) membuatevent lomba, yang mengharuskan setiap pesertanya untuk memiliki buku-bukuku tersebut, dan begitu seterusnya. :) *** Oke, cukup sekian dulu ulasan tentang cara membuka usaha penerbitan buku indie bagi pemula dariku. Semoga bisa diambil manfaatnya. :)


28 Mei 2012, tengah malam yang belum bisa dikatakan larut, tiba-tiba suatu ide yang kupikir cukup cemerlang, melintas di otakku. Bukan hanya sekedar permisi numpang lewat, ide itu akhirnya aku cetuskan dan realisasikan langsung pada keesokan harinya.
Membuka jasa penerbitan buku indie. Yah, usaha itulah yang berhasil menggagahi alam pikiranku semalaman suntuk. Aku mulai memperhitungkan untuk “berjudi” dengan membuka usaha tersebut, setelah aku mulai merasakan jenuh dan lelah pada bisnis penjualan baju online yang 2 bulan terakhir kugeluti. Aku mulai menggali potensiku, untuk menjadikan hobi sebagai lahan bisnis.
Banyak orang yang heran dan merasa “wah” (baca: kagum) waktu tau kalo mahasiswi rantau yang baru menjejak angka kepala dua ini bisa menekuni side job di luar jalurside job normal yang biasa digeluti pelajar rantau lainnya. Tapi, kalo kamu tau cara-caranya, aku yakin, kamu sendiri juga bisa seperti aku (bahkan lebih).
Satu hal yang pasti, membuka penerbitan buku indie TIDAK HARUS PUNYA KANTOR. Yaph, betul. Karena aku sendiri sudah membuktikan, ruang kamar kost-ku yang cuma berlahan 3×3 meter ini, ternyata mampu menyangga tubuhku selama hampir 24 jam guna melakoni usaha penerbitan buku indie. Dari mulai penggarapan naskah, hingga pengiriman paket buku yang sudah dipesan.
Oke, langsung aja…
Memahami maknanya terlebih dahulu, penerbit indie (mandiri) adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan buku, yang keseluruhan modalnya berasal dari kantong sendiri. Mulai dari kerangka, hingga sebuah naskah dapat berubah wujud menjadi sebuah buku yang manis dan bisa dinikmati oleh pembaca.
Apa aja, sih, yang diperlukan untuk bisa membuat sebuah usaha penerbitan buku indie?
1. Membuat Nama dan Logo Penerbit
Jangan asal dalam membuat nama untuk penerbitan indie, karena nama dan logo juga bisa menjadi brand yang cukup berpengaruh dalam nilai jual penerbitan tersebut. Buat nama yang unik, yang sekiranya bisa menimbulkan penasaran di benak pemirsa, tapi juga mudah melekat di ingatan. Begitu juga dengan logo. Buat yang sekiranya nggak biasa dan bernilai historis. Coba bayangkan, bagaimana penilaian konsumen, saat melihat logo sebuah penerbitan yang terkesan biasa saja dan pasaran? Bisa dipastikan, jika mereka konsumen yang cerdas, akan cukup meragukan kemampuan si penerbit tersebut. Lha, buat design logo-nya sendiri aja nggak memikat, gimana bisa men-design cover buku dan menarik minat banyak pembeli?
Aku pribadi, memakai nama PENERBIT HARFEEY untuk nama penerbitan buku indie yang kutekuni. Harfeey sendiri berasal dari singkatan nama kedua orangtuaku, Harjadan Shofeeyah. Dengan harapan, agar usaha yang tengah kurintis ini bisa mendulang sukses berkat barokah dari beliau berdua. Tentang logo, yang bisa dilihat pada foto di atas, kebetulan yang membuat design-nya adalah adikku sendiri. Makna dari logo tersebut ialah, gambar buku sebagai simbol bahwa kami bergerak dalam bidang penerbitan buku, tulisan huruf “H” dan “F” di dalam kertas buku yang terbuka melambangkan ayah dan ibu sebagai dua orang berkedudukan tertinggi dalam keluarga, dan 7 bulatan yang merangkai nama HARFEEY dari warna biru paling tua hingga paling muda menggambarkan 7 bersaudara yang dimulai dari anak tertua hingga yang paling muda, dan makna 7 bulatan itu yang melingkar keluar, lalu menyatu lagi ke dalam buku yang juga kami ibaratkan sebagai rumah yang di dalamnya terdapat orangtua, adalah bahwa kami, ketujuh bersaudara ini, gemar merantau ke luar daerah, namun pada akhirnya akan tetap bersatu juga di dalam rumah tercinta. Cukup memiliki nilai sejarah, kan? :)
2. Modal dana UTAMA just Rp500.000,-
Nggak besar juga, kan, ternyata modal utamanya? Tapi hati-hati, modal utama yang dijadikan sebagai biaya untuk pembuatan akta notaris (badan hukum) ini tidak seragam tarifnya. Pernah sharing sama beberapa teman yang juga duluan bikin penerbitan buku indie, ternyata mereka harus merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk membuat perusahaannya tersebut sah dan legal di mata hukum. Nggak tanggung-tanggung, tarifnya dari Rp1.500.000,- s/d Rp6.000.000,-. Wow!
Memang yang mereka dapatkan itu bukan sekedar akta notarisnya aja, tapi, katanya, juga ada NPWP perusahaan, dll-nya juga. Padahal, sih, paling itu cuma akal-akalan oknum atau petugasnya aja, deh! :) Selain karena sebenarnya pengurusan surat NPWP (surat wajib pajak) itu gratis alias nggak berbayar, juga untuk jenis usaha penerbitan indie yang statusnya masih berupa perusahaan skala kecil berbentuk CV, pajak itu tidak menjadi suatu kewajiban, kecuali zakat penghasilan, tentunya bagi yang beragama muslim.
Kegunaan dari membuat akta notaris untuk penerbitan indie selain agar terlepas dari jerat penerbit abal-abal alias illegal, adalah dalam memudahkan proses penerbitan buku. Sebuah buku, walaupun juga nggak wajib, tapi umumnya harus memiliki ISBN (International Standard Book Number), semacam sidik jari khusus pada setiap buku. Guna dari ISBN tersebut adalah di antaranya agar bukumu diakui secara internasional dan tersimpan dalam arsip perpustakaan nasional hingga limapuluh tahun ke depan. Dan hanya perusahaan yang sudah berbadan hukumlah yang permintaan pengajuan ISBN-nya akan dilayani oleh pihak pembuat jasa ISBN, yakni Perpustakaan Nasional.
Sementara untuk kelengkapan dokument-nya sendiri nggak cukup rumit. selain uang pembayaran, juga diperlukan foto copy KTP 2 orang, yang nantinya akan bertindak sebagai Direktur Utama dan Vision Comanditer perusahaan. Proses selengkapnya bisa langsung ditanyakan pada pihak kantor notarisnya sendiri
3. Menguasai Tekhnik-tekhnik Dasar Penerbitan Buku
Tekhnik-tekhnik dasar tersebut bisa mencakup editinglayout isi, dan design cover. Kebetulan, sebagai penulis aku cukup paham dalam tekhnik editing dan layoutnaskah, jadi nggak perlu dana buat bayar orang untuk menggarap bagian itu. Sedangkan design coverAlhamdulillah-nya, ternyata adikku juga bisa membuatdesign yang sangat bagus. Alhasil, aku bisa meminimalisir dana untuk design cover, karena bisa membelinya dengan harga “sodara” :D.
Buat teman-teman yang mungkin nggak punya sodara atau kenalan dekat yang bisadesign cover, bisa juga meminta jasa para pen-design pemula yang umumnya juga mematok harga sekitar Rp120.000,- s/d Rp150.000,-. Sedangkan untuk layout-nya sendiri, paling murah Rp200.000,-, dan editing naskah sekitar Rp3.000,- s/d Rp6.000,- perhalaman A4, spasi 1,5. Itu semua tarif untuk pemula, loh. Kalo profesional, jelas beda lagi kastanya. :) Cukup mahal, ya? Makanya, mendingan belajar sendiri sedikit demi sedikit, bisa juga secara otodidak, agar bisa meminimalisir ongkos produksi.
4. Mengurus ISBN
Setelah buku siap dicetak, seperti yang sudah dijelaskan di nomor 2, kita perlu untuk mengurus nomor ISBN, yang umumnya nanti akan dicantumkan di cover bagian belakang, lengkap dengan design barcode-nya yang bisa kita buat sendiri menggunakan aplikasi corel draw, atau secara online di http://www.terryburton.co.uk/barcodewriter/generator/.
Nah, untuk mengajukan permintaan nomor ISBN-nya itu sendiri, kita bisa mulai dengan menyiapkan berbagai kelengkapannya, dan mengirimkan lewat faks ke kantor Perpustakaan Nasional bagian pelayanan ISBN. Biasanya proses pelayanan cukup cepat, nggak sampe memakan waktu sehari. Cuma sekitar 1-2 jam setelah pengirimanfaks, balasan tentang nomor ISBN bisa langsung diterima. Info selengkapnya bisa dilihat dengan membuka link ini http://www.pnri.go.id/LayananISBN.aspx.
5. Memilih Percetakan
Setelah semua tahap pra terbit selesai (editing, layout, design cover, ISBN), sekarang waktunya buat mencari percetakan yang cocok untuk mencetak buku tersebut. Huntingpercetakan tentu bukan perkara yang sepele juga, karena bisa berimbas ke harga jual buku nantinya. Tapi jangan asal comot percetakan yang banting harga juga, sih. Yang penting kita lihat dulu kualitas cetakannya seperti apa.
Untuk meminimalisir pembayaran dari kantong pribadi dalam membayar biaya cetak yang juga nggak murah, caranya, waktu buku sudah siap dilempar ke percetakan (dan tentunya di sini kamu sudah bisa memperhitungkan harga jual buku), bikin woro-woro tentang pre order, alias pembelian buku pra terbit. Tentunya dengan diskon beberapa persen (umumnya 15-20%), biar orang-orang tertarik untuk melakukan pre order. Nah, dari uang hasil pre order itu bisa kamu gunakan untuk menambah kekurangan ongkos cetak bukunya. :)
Hal yang jangan sampe dilupakan, cari percetakan yang menerima cetak buku dengan sistem POD (Print on Demand), alias cetak berkala. Jangan berani-berani untuk langsung cetak masal ratusan bahkan sampe ribuan eksemplar, karena seperti yang sudah dibahas sebelumnya, penjualan by online itu nggak tentu. Jadi lebih aman melakukan cetak sesuai pesanan saja. Misal, cuma antara 10-50 eksemplar dulu untuk cetakan pertama, dan bisa dicetak ulang kalo ada lagi yang membeli, begitu seterusnya.
6. Menentukan Harga Buku
Ini tahapan yang lumayan bikin dilema, terutama bagi penerbit indie yang sering terbentur sama masalah harga ongkos kirim juga. Kalo mau merujuk sama hitungan rumus normal untuk penentuan nilai harga jual adalah Biaya cetak : jumlah eksemplar cetak x 5 = Harga buku. Tapi, justru jatuhnya sering terlalu mahal, apalagi kalo dijual cuma by online. Bisa-bisa orang sudah lari terbirit-birit waktu baru baca kolom harganya aja. Terserah kitalah intinya, sih, mau pasang tarif jual berapa, tapi yang sekiranya realistis dan sesuai dengan kantong para target pasar. Prinsipku, ambil untung secukupnya aja (baca: nggak banyak), asal laris. Daripada ambil untung banyak, tapi yang beli cuma 1-2.
7. Strategi Pemasaran
Ini yang menurtku menjadi yang terpenting. Kamu harus pandai membuka peluang pasar, bukan sekedar mencari. Terlebih jika basic-nya sudah penulis (seperti aku :P) akan jauh lebih memudahkan lagi, karena sedikit banyak sudah paham tentang apa yang terjadi di dunia kepenulisan. Kebetulan, aku lebih fokus pada dunia penulisan di situs jejaring sosial facebook, yang mana sudah sangat mewabah. Banyak grup-grup kepenulisan yang juga mengadakan event-event lomba menulis yang nantinya naskah tersebut diterbitkan secara indie (mandiri).
Dari situ, aku pribadi mulai memanfaatkan maraknya event kepenulisan online untuk melebarkan sayap perusahaan baruku ini. Sekedar untuk memperkenalkan pada teman-teman lain. Aku mulai mengadakan berbagai macam event kepenulisan yang mengangkat tema yang sekiranya dapat diminati bukan hanya ketika berwujud eventlombanya saja, tetapi saat telah menjadi buku cantik yang siap dipasarkan. Jujur, keuntungan untuk sekedar balik modal jauh lebih cepat diraih dari penerbitan buku antologi (keroyokan dari banyak penulis) yang diadakan lewat event lomba tersebut, ketimbang dari menerbitkan buku karya perorangan. Karena yang berminat membeli dan mempromosikannya juga jauh lebih banyak.
Nggak sampe di situ, masih ada perjuangan lainnya, yakni memasarkan buku. Karena nggak mungkin, kan, kita sudah merasa puas hanya dengan sekedar bisa melihat wujud nyata dari lembaran naskah yang selama ini kita tulis, dalam bentuk buku. Tentunya setiap penulis menginginkan agar bukunya tersebut bisa dinikmati oleh khalayak, dan laku dipasaran.
Sebagai penerbit indie yang hanya memasarkan buku-buku terbitan lewat mediaonline, aku paham betul kendala memasarkannya. Mulai dari kurang menjamah banyak kalangan, hingga masalah ongkos kirim barang yang tidak jarang menjadi perhitungan kebanyakan pembeli untuk memilih berbelanja online. Maka dari itu, aku memutar otak agar buku-buku hasil terbitanku tidak hanya mengeram menjadi penghuni tumpukkan kardus di pojok kamar kost-ku, dengan cara (lagi-lagi) membuatevent lomba, yang mengharuskan setiap pesertanya untuk memiliki buku-bukuku tersebut, dan begitu seterusnya. :)
***
Oke, cukup sekian dulu ulasan tentang cara membuka usaha penerbitan buku indie bagi pemula dariku. Semoga bisa diambil manfaatnya. :)